Audit BPK Soal Hambalang Yang Ganjil

JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)  
By: Opinion. 
 
-  Betapa mencurigakan cara Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit proyek Hambalang. Laporan sementara BPK tidak memasukkan perusahaan dan pejabat penting yang terlibat dalam proyek pusat olahraga di Sentul, Jawa Barat, ini. Jika kejanggalan itu tidak segera diperbaiki, publik tentu semakin ragu terhadap independensi lembaga ini.

Pimpinan BPK semestinya merasa malu karena yang mengungkapkan keanehan itu justru "orang dalam" sendiri. Anggota lembaga ini, Taufiequrachman Ruki, membenarkan tidak masuknya nama Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dalam hasil audit itu. PT Dutasari Citralaras, perusahaan subkontraktor proyek tersebut, kabarnya juga tidak masuk. Padahal perusahaan yang sahamnya dimiliki antara lain oleh Athiyyah Laila, istri Anas Urbaningrum, ini berperan penting dalam proyek Hambalang.


Keganjilan hasil pemeriksaan proyek senilai Rp 2,5 triliun itu amat mencolok mata. Nama Menteri Keuangan Agus Marto masuk dalam laporan itu, begitu pula bekas Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto. Sungguh mengherankan bila nama Menteri Olahraga sebagai pejabat pengguna anggaran justru tak ada.

Setelah hasil audit itu diributkan, barulah BPK memeriksa Menteri Andi. Tapi lembaga ini telanjur melecehkan kecerdasan banyak orang.

Soalnya, praktek kotor dalam proyek ini sebetulnya sudah terbongkar. Tak ada yang bisa ditutup-tutupi lagi. Kalau tak percaya, masukkan kata "Hambalang" dalam mesin pencari di Internet, maka akan muncul ribuan tulisan dan data mengenai proyek ini. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam skandal korupsi ini sudah lengkap, termasuk pula modusnya.


Audit yang tebang pilih hanya akan menjadi bahan lelucon lantaran Komisi Pemberantasan Korupsi sudah lama pula menyelidiki proyek itu. Lebih dari 50 orang yang diduga terlibat atau mengetahui proyek ini telah dimintai keterangan. Bahkan pejabat Kementerian Olahraga, Deddy Kusdinar, sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ia pun menyatakan hanya sebagai pelaksana, sekaligus menegaskan bahwa atasannya, Menteri Olahraga, mengetahui pemakaian anggaran untuk Hambalang.


BPK semestinya membeberkan semuanya temuan dan nama yang terlibat dalam proyek itu. Toh, dengan masuknya nama-nama itu, tidak otomatis mereka bisa disebut terlibat dalam kasus korupsi Hambalang. Bisa saja pejabat itu sekadar menjalankan wewenangnya. Ia tak menyalahgunakan wewenang itu atau menerima suap berkaitan dengan proyek tersebut.


Menghilangnya nama pejabat yang seharusnya masuk justru berisiko besar. Bila disengaja, apalagi yang dihilangkan adalah nama yang sebetulnya berpotensi dijerat secara pidana, pejabat lembaga pemeriksa ini bisa dipersalahkan. Ini diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan pada pasal 36 undang-undang itu dinyatakan, anggota lembaga ini yang memperlambat atau tidak melaporkan unsur pidana ke penegak hukum terancam pula sanksi pidana. Ia bisa dihukum maksimal 10 tahun penjara.


Semestinya pimpinan BPK menyadari ancaman hukum itu. Begitu pula sanksi yang lebih kejam dari masyarakat, yakni berupa hancurnya kredibilitas lembaga ini.